Pengertian Estetika dan Filsafat Seni (Martin Suryajaya)

    Banyak istilah yang terdapat pada estetika, ada yang menyebutnya sebagai kajian tentang keindahan dan ada juga yang menyebutnya sebagai mempercantik diri. Kalau dilihat dari sejarahnya, estetika sebenarnya awalnya bukan tentang kajian indah. Dalam bahasa yunani estetika disebut dengan kata lain Aesthesis yang artinya pencerapan indrawi. Maka dari itu estetika semula bagian dari kajian epistomoligi yaitu kajian tentang asal usul dasar dari pengetahuan manusia. 

    Pengertian estetika berubah pada awal abad ke 18 yang dikemukakan oleh estetikawan yang bernama Alexander Baumgarten (1714-1762). Seperti yang kita tahu bahwa kesenian sudah ada sejak lama, tradisi pemikiran yang ada sejak zaman yunani sampai zaman modern biasanya mengartikan dari satu sisi dari sebuah segitiga konseptual yaitu sebuah segitiga yang mempersatukan ide tentang apa yang indah, apa yang benar dan apa yang baik atau disebut juga Bonum,Verum, Pulchrum. Bonum yang artinya kebaikan, Verum yang artinya kebaikan dan Pulchrum yang artinya keindahan. Usaha untuk menggambarkan suatu inti dari keindahan telah menggiring  para pemikir estetika pada sebuah kesimpulan, salah satu kesimpulan tersebut “apa yang membuat sesuatu itu indah harus dilihat dari segi wahana nya” inilah yang dikenal dengan konsep kekhasan wahana atau medium specificity. Suatu lukisan itu indah bukan karna dari dia menggambarkan suatu yang ideal, suatu tatanan yang menyenangkantetapi lukisan itu sendiri sebagai wahana 2 dimensi itu telah berhasil mengolah kekhasan wahananya dengan mengoptimalkan peran dari ritme, komposisi dan warna sepenuhnya. 


    

    Seiring bergeraknya abad ke 20, wacana seni untuk seni ataupun seni yang dilihat dari aspek formalnya tidak lagi memadai. Salah satu pangkalnya adalah pergerakan kaum Avantgarde yang mendobrak batas-batas apa itu seni dan yang bukan seni. Urinoar karya marcel duschamp, karya instalasi ini jauh dari kesan keindahan ataupun kesan dbuat untuk indah. Ia ditampilkan apa adanya yaitu urinoar tanpan polesan apapun juga. Bagaimana kemudian mengevaluasi karya seni seperti ini? Konsep keindahan apa yang diperlukan sehingga karya ini dapat dievaluasi? Terlihat estetika pada abad ke 20 tidak lagi bisa didasarkan pada konsep pra abad ke 20. Yang dikejar duschamp
atau para seniman perupa lainnya bukan lah keindahan pada umumnya, kalau kekagetan adalah keindahan maka itulah yang dicari oeh duschan. 

    Tidak memadai estetika formalis kemudian medorong berbagai macam estetika yang lain seperti pemikiran konvensialisme. Konvensialime sendiri adalah pandangan keindahan sebuah seni atau status karya seni yang tidak ditentukan oleh sifat-sifat inhern dari objek-objek yang dipamerkan tetapi dari “Eye Of The Beholder” yang artinya mata dari si pembaca atau penonton. Suatu karya dianggap sebagai sebuah seni bukan karna dianggap dari orang ke orang melainkan bahwa karya itu dianggap oleh seseorang bahwa itulah seni.

Komentar